the most beautiful things in life are not things; they are people and places, memories and pictures. they are feelings and moments, smiles and laughter

Saturday, 13 July 2019

Her Perspective About Feelings That Linger & Moments That Last


On one fine and easy Sunday, I found myself listening to one of Japanese' renowned animation drama soundtrack; "One More Time, One More Chance" on repeat whilst contemplating about life.

That afternoon, I was randomly craving for the local instant noodles I haven't had in ages; so I decided to make one since it took less than five minutes. In the middle of the cooking process, suddenly I was reminded of the taste of the exact same instant noodles my grandma used to cook me back then. Then I thought to myself; how could an instant noodles a la my late grandma felt that good compared to mine or basically anyone's?? It's amazing how I could still vaguely taste the sweet slash salty-ish taste that seems to be only my grandma could make. And then I was reminded of this egg dish that my housemaid used to make. I couldn't even recall what she called it, but I do remember the taste. It was sweet, and it looked a little bit like an omelette but it wasn't, like it's somehow seasoned with ketchup but then again I wouldn't know for sure.

Hence, I walked down the memory lane to the moments where I thought would last forever—but don't. A family gathering in Puncak; where even the distant family members came as one and we played games together in the morning, had the roasted corn at night while doing the karaoke of Koes Plus or Frank Sinatra's songs. Sleeping next to my grandma at night while brushing my fingers off her wrinkles and her long white hair. Playing along with my cousins and nephews a day before Lebaran at my grandma's old neighborhood; where we used to climb the fence of nearby kindegarten so we could sneak in without getting caught. Trying out my new rollerskates and actually fell on my first attempt, and fell again on the second, and I kept on failing until I wasn't anymore—and I remember how I was in love with my rollerskates and I would wear it anytime, anywhere, including to the hospital on the day where my little brother was born. Driving around in motorbike with my father only so I could fell asleep since it was a little tricky to put me on sleep at night because I was this little kid that seemed to have infinite amount of energy; which my father and I, that time, referred it as "berpetualang". Watching Power Rangers for the first time with my little brother and saw the excitement on his eyes. Piggybacking my grandpa and grandma while strolling around the neighborhood in the morning; then watching their favorite Warkop DKI and Wiro Sableng's episodes afterward. Getting bullied on this bus that carry my friends and I home back then on our kindegarten days just because I told them I love pink, and a friend of mine thought I have no right into liking the same color as her.

Those random thoughts that popped up made me think a lot about no matter how time flies; how years and months and days and seconds passed by, somehow every feelings that we have had were still there under our unconsciousness. They still linger on; those moments last. We never forget a single thing we have had, a single moment we have felt, a single taste we have tried. Somehow, all of our past experiences were ceased to vanish—yet, they were eternal and we bring them with us to the future and they became a part of us; that if somebody ever try to unfold every layers that made us who we are now, they would find fragments of those feelings and moments there.

Anyway, here's the song called "One More Time, One More Chance" I mentioned earlier:

Friday, 19 April 2019

Fenomena Museum Kontemporer dan Puisi Modern

Nama Yayoi Kusama seolah menjadi tidak asing lagi dan tidak eksklusif bagi pekerja seni maupun orang-orang yang bergelut di seni saja ketika salah satu museum kontemporer di Jakarta (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau singkatnya, Museum MACAN) menghadirkan karya-karya seniman asal Jepang yang terkenal dengan karya seninya yang didominasi oleh polkadot dengan warna yang vibrant dan colorful itu.

Image result for yayoi kusama

Mengingat pameran ini sifatnya temporer, maka mayoritas “kaum millenial”, so they say, berbondong-bondong berdatangan untuk melihat karyanya, dan tidak sedikit dari mereka yang mengerahkan segala usahanya untuk memakai pakaian yang proper agar kelak foto-fotonya dapat dijadikan konten untuk platform Instagram yang seolah-olah sudah menjadi makanan sehari-hari. 

Fenomena kehadiran museum kontemporer yang mengusung karya-karya yang “Instagram-able” ini tentunya membuat beberapa orang menjadi bitter, tidak sedikit yang mengkritik dan mencemooh para millenials yang menurut mereka, hanya datang untuk berfoto, tapi sebenarnya tidak peduli dengan karya seni yang dihadirkan. Walaupun tentunya, tetap ada pula para pecinta seni yang memang hadir untuk melihat seni instalasi dan lukisan karya Yayoi Kusama dan ingin mengetahui arti di balik setiap karyanya.

Hal serupa juga terjadi seiring dengan menjamurnya penyair modern yang kerap dijuluki sebagai “Instagram Poet” seperti Lang Leav, Rupi Kaur, dan R.H Shin, di mana karya-karya mereka lahir dan tumbuh besar melalui sosial media seperti Instagram dan Tumblr; meninggalkan penyair-penyair lama seperti Sylvia Plath dan Pablo Neruda terpaksa harus berakhir di rak buku milik ibu mereka. Puisi-puisi ini bukan hanya dinilai mewakili perasaan yang dimiliki oleh para millenial, melainkan memiliki cover yang cantik dan ilustrasi-ilustrasi yang Instagram-able, sehingga cocok di bawa kemana-mana sebagai tambahan properti untuk mendapatkan hasil foto yang bagus dan menarik. 

Image result for poetry books lang leav photograaph

Lagi-lagi, hal ini menjadi bahan cemooh terhadap kaum millenial, bahwasannya buku-buku puisi yang kembali menjamur di toko buku sekarang sebenarnya hanya sebagai kebutuhan atau pemuas konten para millenial; bahwasannya menurut mereka-mereka yang bitter, sebenarnya kaum millenial ini tidak terlalu peduli dengan bacaan dan makna dari suatu puisi, melainkan mereka hanya ingin memotretnya lalu menyebarkannya di sosial media. Walaupun tentunya, tetap ada pula pecinta puisi yang memang menyukai makna implisit dari setiap puisi yang dibaca.

Lantas, apakah salah jika para “millenial” ini pergi ke museum hanya untuk sekadar befoto-foto ria? Atau jika mereka membeli buku-buku puisi hanya untuk memotretnya, lalu meng-upload-nya ke sosial media?

Menurut saya tidak

Karena setidaknya, mereka sudah menunjukkan sedikit kepeduliannya akan perkembangan seni di Indonesia, walaupun beberapa orang masih bitter dalam menerima kenyataan ini. Memang, akan jauh lebih baik apabila saya, dan para millenial lainnya mengunjungi museum tidak hanya untuk berfoto-foto, melainkan untuk berkontemplasi dan memahami arti di balik setiap karya seni. Memang, akan jauh lebih baik apabila saya, dan para millenial lainnya membaca suatu karya tidak hanya untuk memotretnya lalu dijadikan konten untuk sosial media, melainkan memahami arti di balik setiap kata yang tertulis.

Namun pada akhirnya, sedikit bentuk kepedulian saja, ketimbang tidak sama sekali, bukankah sudah cukup baik? Perlahan tapi pasti, yang diawali dengan kebutuhan konten, bisa saja berkembang menjadi awal ketertarikan akan karya-karya seni lainnya. Perlahan tapi pasti, kami akan berkembang menjadi generasi yang lebih baik. Lantas, sudah saatnya kita berhenti menghakimi dan mulai saling memberi dukungan positif terhadap satu sama lain. 


blogger template by lovebird