Nama Yayoi Kusama seolah menjadi tidak asing lagi dan tidak eksklusif bagi pekerja seni maupun orang-orang yang bergelut di seni saja ketika salah satu museum kontemporer di Jakarta (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau singkatnya, Museum MACAN) menghadirkan karya-karya seniman asal Jepang yang terkenal dengan karya seninya yang didominasi oleh polkadot dengan warna yang vibrant dan colorful itu.
Mengingat pameran ini sifatnya temporer, maka mayoritas “kaum millenial”, so they say, berbondong-bondong berdatangan untuk melihat karyanya, dan tidak sedikit dari mereka yang mengerahkan segala usahanya untuk memakai pakaian yang proper agar kelak foto-fotonya dapat dijadikan konten untuk platform Instagram yang seolah-olah sudah menjadi makanan sehari-hari.
Fenomena kehadiran museum kontemporer yang mengusung karya-karya yang “Instagram-able” ini tentunya membuat beberapa orang menjadi bitter, tidak sedikit yang mengkritik dan mencemooh para millenials yang menurut mereka, hanya datang untuk berfoto, tapi sebenarnya tidak peduli dengan karya seni yang dihadirkan. Walaupun tentunya, tetap ada pula para pecinta seni yang memang hadir untuk melihat seni instalasi dan lukisan karya Yayoi Kusama dan ingin mengetahui arti di balik setiap karyanya.
Hal serupa juga terjadi seiring dengan menjamurnya penyair modern yang kerap dijuluki sebagai “Instagram Poet” seperti Lang Leav, Rupi Kaur, dan R.H Shin, di mana karya-karya mereka lahir dan tumbuh besar melalui sosial media seperti Instagram dan Tumblr; meninggalkan penyair-penyair lama seperti Sylvia Plath dan Pablo Neruda terpaksa harus berakhir di rak buku milik ibu mereka. Puisi-puisi ini bukan hanya dinilai mewakili perasaan yang dimiliki oleh para millenial, melainkan memiliki cover yang cantik dan ilustrasi-ilustrasi yang Instagram-able, sehingga cocok di bawa kemana-mana sebagai tambahan properti untuk mendapatkan hasil foto yang bagus dan menarik.
Lagi-lagi, hal ini menjadi bahan cemooh terhadap kaum millenial, bahwasannya buku-buku puisi yang kembali menjamur di toko buku sekarang sebenarnya hanya sebagai kebutuhan atau pemuas konten para millenial; bahwasannya menurut mereka-mereka yang bitter, sebenarnya kaum millenial ini tidak terlalu peduli dengan bacaan dan makna dari suatu puisi, melainkan mereka hanya ingin memotretnya lalu menyebarkannya di sosial media. Walaupun tentunya, tetap ada pula pecinta puisi yang memang menyukai makna implisit dari setiap puisi yang dibaca.
Lantas, apakah salah jika para “millenial” ini pergi ke museum hanya untuk sekadar befoto-foto ria? Atau jika mereka membeli buku-buku puisi hanya untuk memotretnya, lalu meng-upload-nya ke sosial media?
Menurut saya tidak.
Karena setidaknya, mereka sudah menunjukkan sedikit kepeduliannya akan perkembangan seni di Indonesia, walaupun beberapa orang masih bitter dalam menerima kenyataan ini. Memang, akan jauh lebih baik apabila saya, dan para millenial lainnya mengunjungi museum tidak hanya untuk berfoto-foto, melainkan untuk berkontemplasi dan memahami arti di balik setiap karya seni. Memang, akan jauh lebih baik apabila saya, dan para millenial lainnya membaca suatu karya tidak hanya untuk memotretnya lalu dijadikan konten untuk sosial media, melainkan memahami arti di balik setiap kata yang tertulis.
Namun pada akhirnya, sedikit bentuk kepedulian saja, ketimbang tidak sama sekali, bukankah sudah cukup baik? Perlahan tapi pasti, yang diawali dengan kebutuhan konten, bisa saja berkembang menjadi awal ketertarikan akan karya-karya seni lainnya. Perlahan tapi pasti, kami akan berkembang menjadi generasi yang lebih baik. Lantas, sudah saatnya kita berhenti menghakimi dan mulai saling memberi dukungan positif terhadap satu sama lain.